Friday, May 22, 2009

Pesantren Cinta II

Oleh: Rossem

“Kalau mahu mencari sampah sesungguhnya ia ada di mana-mana, tapi kalau mahu mencari muntiara, ia hanya berada di sarangnya. Kerana muntiara itu tidak bisa ditemui di lokasi seperti stesen bas, kaki lima jalan, di diskotik” Kata kiai dalam satu pengajian rutin pagi Jumaat di masjid di Kota Bharu. Ribuan jamaah yang hadir saling pandang memandang “Apa maksud sang kiai sih berbicara begitu?” Tanya salah seorang jamaah kepada temannya.

Belum pun sempat pertanyaan itu dijawab, sang kiai lantas menerangkan “Kalau kalian mahu mencari calon isteri atau calon suami. Jangan cari di jalanan, nanti kalian bertemu sampah. Jangan kutip sampah untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Bisa mengotorkan rumah mu”.

“Sebaliknya carilah muntiara dan tempat beradanya muntiara ialah di sarangnya”. sambung sang kiai.

Muntiara adalah sejenis hidupan laut yang tersembunyi di dalam kelopaknya yang keras seakan kulit kerang. Untuk mendapatkannya harus dipecahkan dulu kulitnya. Demikian Allah SWT jadikan ia sebegitu rupa kerana kilauannya menarik minat sang pemburu barangan perhiasan. Harganya mencerceh ratusan ribu, hanya layak dipakai orang-orang kaya yang berkiblatkan kemewahan.

Muntiara yang dimaksudkan sang kiai itu ialah mencari calon isteri atau calon suami hendaklah yang sifatnya kayak muntiara. Ada nilai di pasaran. Punya pembeli khusus. Dalam konteks ini, memiliki akhlak yang tinggi, ilmu agama yang secukupnya, agar bisa memimpin diri sendiri serta anak-anak menuju jalan Allah dan memperolehi redhonya.

Justeru di mana letak sarangnya untuk mendapatkan muntiara yang dikatakan berharga itu? Sang kiai selanjutnya menerangkan “Tempat keberadaan muntiara itu ialah di masjid, di pesantren atau tempat-tempat pengajian. Carilah isteri atau suami yang berada dalam lingkungan ini. Kelak bila sudah menjadi realitas, kalian akan tahu betapa manisnya kehidupan berumahtangga yang di dalamnya terbentuk suami isteri yang berjalan di atas rel yang sama dan menuju ke distinasi yang sama.”

Seterusnya sang kiai mengungkapkan kata-kata yang lebih bermakna “Ingatlah! Kalian bukan saja membina rumahtangga tapi membina keturunan. Keturunan yang baik itu hanya datangnya dari benih yang baik”.

Telah banyak kita melihat, rumahtangga yang dibina atas dasar cinta namun akhirnya hancur beratakan, bahkan ada yang baru setahun jagung menikah sudah bercerai. Hal ini berlaku kerana mereka memilih pasangan secara “tangkap muat”. Tanpa mengira loaksi awal pertemuan, di diskotik atau di tempat-tempat hiburan lainnya. Bila percerian berlaku, yang manjadi mangsa adalah anak-anak. Kesian mereka yang tidak berdosa, bahkan tidak tahu apa-apa pun seputar sejarah ibu bapa mereka.

Bagi yang sedang pacaran, yang harus diambil kira ialah, pada setiap kali uda dan dara itu bertemu, dalam konteks apa mereka didiskusikan, persoalan agama atau usikan kelucahan. Kalau 80 persen persoalan agama atau dakwah yang mereka tekankan, ayuh teruskan…itu dikirakan sudah layak sebagai calon isteri atau suami. Namun kalau 80 persen diskusinya berkisar seputar kelucahan atau ngomong kosong maka lebih baik stop saja.

Juga jangan dipandang ringan, apakah setiap kali bertemu pacar yang sedang asyik masyuk itu lebih banyak mengundang maksiat atau sebaliknya. Andai maksiat itu lebih banyak daipada kebaikan, lebih baik undur diri saja. Kerana kita tidak mahu unsur-unsur yang bisa mengotorkan perjalanan hidup nanti dalam membina sebuah rumahtangga yang bermatlamat untuk mendapat redho Allah SWT akan tercemar. Kita tidak mahu kelak keturunan kita dikotori dengan hal-hal yang berbentuk maksiat. Seperti kata pepatah, kerana nila setitik maka rosak susu sebelanga. (Sambungan akan datang)

No comments:

Post a Comment