Saturday, February 19, 2011

Bagaimana Indonesia dan Malaysia menanggangi konflik agama?

Oleh: Rossem
Meneliti laman Facebook Indonesia terutama terkait dengan diskusi seputar agama sangat mengejutkan. Diskusi tidak lagi bertujuan kepada mencari kebenaran lewat akal yang sehat, tapi lebih menjurus kepada provokasi yang bisa memanaskan cuping telinga. Kata mengata penganut antara agama terutama pendokong Kristian dengan Islam bisa ditemui di fb dengan mudah. Pendokong Kristian memperlecehkan Islam kemudian dibalas balik oleh pendokong Islam dengan juga pelecehan. Dalam hal ini emosional pastinya ke depan dan menguasai diri. Kerana itu serangan tidak hanya dijawab dengan ungkapan pendek, kadangkala disertakan dengan foto-foto yang berimejkan penghinaan kepada agama, tanpa memikirkan bahawa tindakan itu akan memberi kesan buruk kepada kerukunan hidup bermasyarakat.

Barangkali itulah namanya kebebasan media sudah benar-benar ujud di Indonesia. Setiap rakyat bisa meluahkan pendapat masing-masing, bahkan kepada yang melibatkan agama yang sangat sensitif. Walhal, sensitiviti agama itu paling ke depan ketimbang yang lain. Bagaimana kalau sehingga ketuhanan dan kenabian dipersendakan atau menjadi bahan lucuan dan dikartunkan. walaupun ia hanya tersiar dalam alam siber seperti fb, twitter dan blog, tetapi media tersebut sekarang sudah diperakui sebagai media baru yang sangat efektif dan jumlah pembacanya juga ramai dan jangkauan pencapaiannya hingga seluruh dunia.

Di Malaysia soal pelecehan terhadap mana-mana agama sangat diambil berat. Undang-undang Malaysia sangat ketat dalam membendung rakyatnya daripada mengeluarkan pendapat yang bisa menyinggung penganut agama lain. Walaupun cuma disiarkan dalam fb, twitter dan blog. Namun tindakan berat tidak pernah terlepas kepada individu berkenaan. Pengandali fb, twitter atau blog tidak mungkin terlepas dari dihukum di bawah undang-undang Akta Hasutan. Akta ini digubal bertujuan membendung ketegangan dan konflik agama daripada berlaku di Malaysia.

Namun Indonesia juga punya undang-undang khusus tentang kesalahan pelecehan agama seperti itu. Terbaru seorang Kristian, Anthonius Richmond Bawengan asal Manado, Sulawesi Utara melakukan provokasi agama di Temenggung Jawa Tengah. Dengan menyebar buku “Ya Tuhanku Tertipu Aku” kepada kalangan umat Islam, dalam buku itu disebut Allah dan Rasulullah adalah penipu dan penjahat. Hajar Aswad di Kabbah sebagai simbol kelamin perempuan dan jamrah di Mina sebagai simbol kelamin lelaki. Dengan menyamar sebagai wartawan, akhirnya ia ditangkap polisi dan didakwa di mahkamah, Jaksa menjatuhkan hukuman penjara lima tahun. Walaupun ia menyesal dan mohon maaf kepada umat Islam namun masyarakat Islam di Temenggung tidak puas hati dan minta terdakwa dijatuhkan hukuman mati. Namun hukuman tetap sebagaimana diputuskan yakni lima tahun, maka kerusuhan pun pecah.

Di mana-mana saja, hampir keseluruhan yang berlaku, dimulai oleh non Muslim. Merekalah yang mula-mula melakukan provokasi, mengadu domba, mencipta pelbagai isu yang menyakitkan hati, sedang umat Islam lewat sejarah membuktikan adalah umat paling sabar. Namun kesabaran umat Islam punya batas tertentu. Tidak selama-lamanya umat Islam upaya bertahan dengan pelbagai bentuk provokasi yang dilemparkan.

Seperti juga halnya dengan isu Ahmadiyah. Penganut aliran yang diasakan oleh Mirza Ghulam Ahmad ini bukan hanya menjalankan ibadat sesama jamaah dalam kelompok mereka saja bahkan sudah berani mengajak umat Islam lain menyertai ajaran sesat mereka. Justeru kebiadaban itu ternyata membangkitkan kemarahan umat Islam Indonesia.

Pemerintahan Indonesia masih belum mempunyai sikap yang jelas dan tegas, sama ada memperakui Ahmadiyah sebagai agama baru, yang bererti Ahmadiyah harus meninggalkan simbol dan nama-nama Islam yang tetap dipakainya seperti kita suci al-Quran, masjid dan tidak menganggap ada nabi terakhir setelah Nabi Muhamad saw. Sekaligus membuang kitab tazkirah yang dipakainya dan tidak lagi menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul setelah Nabi Muhamad saw.

Gerakan Ahmadiyah terdapat di mana-mana, di Eropah, Afrika dan Asia. Di Malaysia markas aktivitinya di Kg Nahkoda, Batu Cave, Selangor. Lokasinya di tengah-tengah permukiman majoritas umat Islam. Sebuah bangunan tiga tingkat berkubah besar seperti masjid dibina sejak puluhan tahun lalu berberapa meter daripada pintu masuk ke perkampungan itu.

Di situlah pengikut Ahmadiyah atau Qaidani menjalankan aktivitas mereka. Hanya berbeza dengan Indonesia ialah, di Malaysia penganut Ahmadiyah tidak diiktiraf sebagai Islam. Majlis fatwa Kebangsaan Malaysia, yakni sebuah badan yang dibentuk pemerintah Malaysia telah mengeluar fatwa sejajar dengan fatwa pemerintah Arab Saudi mengatakan ajaran Ahmadiyah terkeluar daripada Islam kerana mendakwa ada nabi dan rasul lain (Mirza Ghulam Ahmad) sesudah Nabi Muhamad saw. Maka posisinya di sisi undang-undang ialah taraf mereka sama dengan penganut agama-agama lain.

Namun, fatwa yang dikeluarkan itu sebenarnya ada buruk dan baiknya menurut konteks Malaysia. Keburukannya ialah, Ahmadiyah bisa beroperasi atau mempraktikkan ibadatnya tanpa ada gangguan dari pemerintah selama ia menjalankan aktivitas sesama kelompoknya. Andainya Majlis Fatwa tidak menjatuhkan hukuman bahawa Ahmadiyah “terkeluar daripada Islam” maka pihak berkuasa agama negeri -negeri di Malaysia bisa mengambil tindakan undang-undang kepada ketua dan pengikut mereka dengan pertuduhan menyebarkan ajaran sesat. Di Malaysia menyebarkan ajaran yang terkeluar dari syariat Islam bisa ditangkap dan di dakwa di mahkamah serta dipenjara. Tindakan selanjutnya merobohkan rumah ibadat mereka.

No comments:

Post a Comment