Saturday, September 5, 2009
Buku dan kita
Oleh: Rossem
Kata Ajib Rosidi (kebetulan nama sasterawan itu sama dengan nama ku Rosidi) : Aku hidup di negera yang termasuk dunia ketiga yang rakyatnya tidak membaca. Bukan saja tidak membaca sastera tetapi tidak membaca teks apa pun jua. Hal ini bisa kelihatan kalau kita bandingkan jumlah halaman yang tercetak setiap tahun dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Kian lama perbandingannya bukannya kian banyak yang membaca, melainkan sebaliknya. Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang paling rendah budaya bacanya di dunia. Dan kian lama kian rendah juga.
Namun Ajib Rosidi tetap juga menulis buku, sehingga kini lebih dari seratus judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda diterbitkan. Tapi menurut Ajib; aku kira tidak ada yang membacanya. Jadi tidak ada pengaruhnya dalam masyarakat. Yang membaca buku ku ialah orang-orang yang tidak punya wewenang dalam menentukan kebijaksana pemerintah. Buku-buku tidak laku di pasaran. (Tidak ada yang menjadi best seller, kalau di cover buku ditulis best seller dengan tinta emas, itu sengaja penerbit masukan agar tampak menarik dan hebat). Maka walaupun aku menerbitkan ratusan judul buku, aku tidak bisa hidup dari honorarium buku-buku itu. Di Indonesia orang mungkin hidup dari menulis kolom di surat khabar atau majalah, tapi tidak mungkin hidup dari honorarium buku. Kecuali satu dua orang yang paling top.
Kenapa terjadinya demikian? Maka penulis terkenal itu berkata lagi: kerana bangsa kita masih hidup dalam budaya lisan. Membaca dan menulis belum membudaya. Televisyen, VCD sudah menjadi industri tapi penerbitan buku baru jadi industri bagi orang-orang yang dapat bekerjasama dengan para pejabat yang berwewenang dalam pembelian buku teks buat sekolah-sekolah. Bagi mereka buku tak ubah dengan sepatu iaitu hanya semacam komoditas yang menghasilkan untung, tidak perlu difikirkan bahawa buku itu merupakan karya budaya yang akan mempunyai pengaruh kepada jiwa dan mental orang yang membacanya.
Lo! kalau begitu, sama saja dengan Malaysia. Buku bagi masyarakat Malaysia ibarat lembaran kertas comot yang tidak menarik minat masyarakat. Walhal pelbagai cara dan kaedah dilakukan penerbit buku untuk melariskan jualan. Dengan teknologi yang semakin canggih, cover design buku-buku direka begitu rupa oleh para pereka grafik yang punya kreativitas yang terkini, namun hakikatnya pencapainnya dari sudut tarikan pembacanya masih jauh daripada membanggakan. Bukan salah penulis dan pereka grafik tapi disebabkan budaya membaca tersangat kurang dalam masyarakat Malaysia.
Terkadang kita malu sendiri dengan turis dari Barat yang mengunjungi Malaysia, tabiat membaca mereka amat tinggi, di dalam bas, mobil atau di mana saja mereka berada, buku tidak terlepas dari tangan. Membaca sudah membudayai mereka.
Namun, mutakhir ini kemajuannya sudah sedikit sirna, kalau diukur pada setiap pesta buku yang diadakan, di mana pengunjungnya semakin ramai. Itupun fokus mereka hanya kepada buku-buku tertentu yang ditulis penulis-penulis yang punya nama besar dalam masyarakat seperti buku-buku yang membicarakan politik dan agama yang diangkat daripada kuliah Mursyidul Am Pas, Tuan Guru Dato’ Nik Abdul Aziz Nik Mat dan Prof. Dr. Yusuf al Qaradhawy (luar negara).
Sementara novel remaja juga jualannya sedikit melegakan. Remaja-remaja perempuan sangat mengemari gerne ini berbanding remaja lelaki. Di pasaran banyak sekali novel-novel yang berkisar tentang cinta remaja, diolah dari pelbagai sudut. Dan majoritinya ditulis oleh penulis wanita.
Selain itu, mutakhir ini novel religi pula menjadi trend baru. Novel bertemakan cinta wanita - pria yang diselitkan dengan nasihat-nasihat religi menjadi tarikan baru pemburu novel. Ditulis para novelis muda yang berpendidikan agama dengan perkataan “cinta” sebagai judul.
Tampaknya pengaruh novelis terkenal Indonesia, Habibulrahman El Shirazy , di mana novel-novel yang dihasilkanya rata-rata memakai judul “cinta”, seperti Ayat-Ayat Cinta, Sejadah Cinta, Ketika Cinta Bertasih, telah menjadi ikutan novelis-novelis muda Malaysia. Seorang lagi novelis muda Indonesia yang gemar memakai judul “cinta” ialah Ravianty Doni. Penulis wanita asal Minang itu menghasilkan karya yang diberi judul Cintaku Bersemi Di Padang Arafah. Ia pernah beremail dengan saya dan menurutnya sekarang sedang menyiapkan novel berikutnya yang juga dititipkan perkataan “cinta” pada judulnya.
Buku-buku politik hanya bermusim, bila ada isu besar dan bersifat nasional, penulis-penulis buku politik mengambil kesempatan untuk membuat duit. Bagi penulis dari kelompok ini, ia merupakan bonus, sepertimana kakitangan kerajaan dan swasta memperolehinya setiap akhir tahun.
Nama-nama besar dalam dunia penulisan politik Malaysia seperti Mohd. Sayuti Omar, Syed Hussain Al-Attas, Norzah Haji Kepol (satu-satunya penulis politik wanita di Malaysia), Lutfi Othman, Haji Subki Latif, Ustaz Reduan Mohd Nor (sekadar menyebut beberapa nama) akan bersengkang mata menyiapkan tulisan mereka sepantas mungkin, membuat lay out dan mengirim ke percetakan kayak orang mengejar keretapi, kerana isu-isu politik seringnya tidak lama terapung dipermukan. Ia mudah basi, jika dihidangkan makanan yang sudah basi pasti tiada siapa menjamahnya.
Buku-buku puisi amat menyedihkan, tiada penerbit yang mahu menerbitnya selain Dewan Bahasa Dan Pustaka, itu pun justeru mereka menerbitnya demi memeliharakan kesusteraan Melayu semata-mata, sebuah amanah yang diserahkan negara ke atas pundaknya. Namun kita angkat tabek kepada beberapa penyair yang menerbit dan memasar sendiri buku koleksi sajak mereka. Antaranya penyair tersohor, Leo AWS. Penerbitan miliknyanya, Pustaka Dewan Beta sudah menerbitkan puluhan judul buku sajak karya sendiri , juga teman-teman penyairnya.
Namun realitasnya, secara umum ialah minat membaca dikalangan kita masih rendah. Dalam satu kampung misalnnya, belum tentu kita akan ketemui seorang kaki buku atau ulat buku, di mana deretan buku yang pelbagai gerne tersusun dalam almari di ruang tamu atau di sudut-sudut kamar tertentu. Kecuali ia seorang penulis, maka mahu atau tidak mahu buku harus akrab dengannya.
Maka benarlah seperti kata Ayib Rosidi, masyarakat Inonesia adalah bangsa dunia ketiga yang malas membaca buku. Masyarakt Malaysia juga demikian Pak!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment