Pertama kali bertemu Rendra, saat dia diundang membaca puisi di Dewan Kelana Jaya, Selangor, Malaysia, sekitar awal 2000. Ketika itu api reformasi yang ditiupkan Mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim masih menyala. Di sore itu, di dewan itu, di hadapan ribuan pendokong setia reformasi dan peminat sastera, WS Rendra membaca puisi dengan gayanya yang mempersonakan. Penonton terpaku sekaligus teruja dengan sang pemberani dalam dunia sastera itu mendendangkan puisi yang mengkritik ketiadakadilan pemerintah, mengkritik praktik korupsi yang melebar dalam masyarakat khususnya dikalangan petugas pemerintah. Penyalahngunaan kuasa yang tidak terbendung. Meskipun ditulis dalam situsi dan kondisi negaranya, Indonesia namun penonton terasa seperti ditujukan kepada pemerintah Malaysia juga.
Demikian kehidupan sang penyair. Baik sedang berkarya atau tidak. Seorang penyair masuk dalam konteks realitas karena kepedulian akan panggilan kharismatik dari alam sekitarnya, dari debu, kerikil, lava, angin, pohon, kupu-kupu, margasatwa. Dari yatim piatu, orang-orang papa, lingkungan kampung halamannya, lingkungan bangsanya, lingkungan kemanusiaannya. Ia harus selalu peduli. Tetapi tidak cukup cuma peduli, karena harus dikaitkan dengan perintah dan larangan Allah. Apa pun, termasuk bersyair, harus menjadi ruang ibadah. Harus mengaitkan dengan kehendak Allah. Kita buat, misalnya, sajak mengenai pelacur, mengenai singkong, atau mengenai perahu. Itu juga religius selama dikaitkan dengan meraih kehendak Allah.
Kalimat di atas adalah sepenggal dari pendermaan buah pikir seniman terbaik tahun 60-an, WS Rendra. Baginya, proses kreatif dalam menulis sebuah karya sastra adalah misteri. Dia mengatakan waktu untuk menulis dalam kehidupan hanya 2-3 persen. Beberapa jam selesai. Selebihnya menyiapkan diri untuk hidup secara kreatif, menjaga daya cipta, dan daya hidup.
Si burung merak ini adalah seorang penderma pikiran yang tidak pernah menangis tak kala menghadapi kekuasaan politik. Dia sempat dijebloskan ke penjara pada 1978, dan mendapat represi pelarangan tampil di berbagai tempat.
"Saya menangis untuk masalah-masalah lain. Dulu saya pernah diminta membaca sebuah sajak. Lalu ada rekan mahasiswa yang menangis, terharu. Saya pun ikut menangis. Saya juga gampang menangis kalau membaca riwayat Nabi Muhammad. Indah sekali. Membayangkan pengorbanan Nabi yang tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada agama Islam, kalau tidak ada Nabi. Saya juga menangis kalau mengenangkan Asmaul Husna," tutur Rendra saat diwawancara wartawan Republika, Iman Yuniarto F, di kediamannya pada Oktober 2006.
Cahaya Islam dalam Karya Sastra Rendra
Sejak masuk Islam, Rendra mengganti namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Rendra mengaku tahu alasan kenapa dia tertarik dengan Islam, tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa memutuskan masuk Islam. "Saya sebetulnya takut sekali terhadap masyarakat Islam. Tapi saya sudah lama tertarik kepada Alquran. Lihat saja. Apa ada kitab suci yang menjelaskan konsep ketuhanannya dalam kalimat yang singkat seperti Alquran?" tanyanya.
Sewaktu Rendra kuliah di Amerika Serikat (kuliah teater), saat itu sedang populer-populernya filsafat eksistensialisme. Kemudian, dia membaca kalimat, Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Rendra terkesan.
Menurutnya, tidak ada kitab suci yang mengatakan bahwa manusia akan selalu merugi dalam perkara waktu. "Lihat. Apa pun bisa kita budayakan, termasuk ruang. Tetapi kita tidak bisa membudayakan waktu. Apa bisa kita menghentikan hari? Dengan teknologi setinggi apa pun, magic setinggi apapun, tidak bisa kita membuat hari Rabu tidak menjadi Kamis. Termasuk saya, tidak bisa menolak kelahiran saya. Saya tidak bisa memilih untuk lahir pada abad ke-22 atau lahir zaman Majapahit," jelasnya.
Menurut Alquran, kita akan selalu merugi soal waktu. Tapi, Alquran juga menyodorkan solusi. Disebutkan hanya orang-orang tertentu yang akan selamat. Yakni yang beriman, beramal saleh, saling berwasiat dalam kesabaran dan kebenaran. Alquran tidak menyebut yang selamat adalah orang yang Islam, orang yang kaya, orang yang pintar atau orang yang sehat.
Ketika ditanya hubungan antara Islan dan karya sastranya, Rendra menjawab, "Intinya kita berwasiat dalam kebenaran. Mudahan-mudahan."
Bagi tokoh Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, Rendra adalah pengingatnya dalam beragama. Pada awal 1970, ia pernah berharap Rendra yang kala itu sudah bernama besar akan masuk Islam dengan penuh kesadaran dan kebebasan. Ketika itu, Syafii dan Rendra belum saling mengenal. Tapi, ternyata, harapan Syafii terkabul, Rendra beralih memeluk Islam.
Lebih dari 30 tahun kemudian, Syafii dan Rendra bersua dalam sebuah rapat Akademi Jakarta. Lalu, mereka berdua menunaikan shalat Maghrib di Taman Ismail Marzuki (TIM). ''Setelah rampung, doa saya singkat saja, BM dengan khusyuk masih mengangkat tangan. Dalam hati kecil saya berkata, jangan-jangan BM lebih beriman ketimbang saya,'' tulis Syafii dalam rubrik Resonansi di Harian Republika 7 Agustus tepat dua tahun lalu. BM dalam tulisannya adalah Burung Merak, nama julukan Rendra.
Syafii mengaku, sejak kecil ia dididik untuk melakukan ibadah harian, namun jarang sekali berdoa panjang sesudah shalat. Tidak demikian halnya dengan Rendra yang berdoa lama pada Maghrib itu. ''Saya yang sudah menjalankan shalat sejak usia Sekolah Rakyat, boleh jadi barulah beragama pada tataran ritual formal, sementara BM beragama dengan getaran hati,'' ungkap Syafii.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah itu pernah menulis kolom ''Faktor Islam'' dalam sebuah majalah. Kolom itu mendapatkan tanggapan dari Rendra: ''Tetapi belum pernah terjadi sepanjang sejarah demikian banyak orang Barat tertarik dengan Islam seperti sekarang ini dan bahkan sebagian menjadi Muslim, sekalipun pemeluk agama ini sedang dihujat di mana-mana dikaitkan dengan terorisme.''
Kecenderungan Rendra untuk kian religius tampak saat ia menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada tahun lalu. Wartawan bertanya tentang rencananya setelah mendapatkan gelar doktor kehormatan itu. Lalu, Rendra berkata, ''Ini lho mematangkan hidup kerohanian saya yang masih mentah sampai sekarang,'' katanya.
"Demi cahaya-Mu, duhai ya Allah, kami berdoa demi Mustafa, bapak tawanan dan para hina, ke hadirat-Mu wasilah kami pada Mustafa. Begitu pula pada warganya tajuk mahkota. Tetapkan iman bersama mati. Semoga didapat apa diminta apa diarah. Jagalah kami dari laku yang nista, laku yang rendah."
Syair ini meluncur dari mulut Rendra saat menampilkan Shalawat Barzanji, sebuah pertunjukan yang digagas Republika pada 2003. Inilah drama musikal yang bersumberkan skenario Kasidah Barzanji, sebuah pertunjukan teater terbesar pada era 70-an.
Ada beda besar bagi Rendra antara Shalawat Barzanji dan Kasidah Barzanji. "Kini Shalawat Barzanji saya pentaskan setelah saya menjadi seorang Muslim," katanya saat hendak pentas.
Rendra sempat ragu menampilkan Shalawat Barzanji. Namun, hasratnya kian kuat setelah bertemu dengan dukungan Republika. Ia kemudian merasa Shalawat Barzanji lebih dapat ia hayati karena pertunjukan yang menampilkan keteladanan Nabi Muhammad saw itu ia lakoni dalam keadaan diri sebagai Muslim.
"Ada dorongan kerinduan akan Nabi Muhammad saw sebagai teladan. Nabi adalah orang yang tanpa keajaiban, penuh kesederhanaan, dan kerendahan hati, tapi sukses memimpin umatnya keluar dari kegelapan zaman jahiliyah. Itu yang mendorong saya kembali mementaskan naskah ini," tuturnya.
Rendra merasa, setelah masuk Islam, ia seperti dimanjakan oleh Allah. "Saya diperkenankan menghayati keimanan Islam dan tidak habis-habisnya bersyukur. Saya sering memikirkan apa yang bisa saya lakukan untuk mengimbangi kebaikan Allah sehingga kehidupan saya bisa lebih berguna," paparnya.
WS Rendra (74 tahun) yang dikenal dengan sebutan si Burung Marak, meninggal dunia pada Kamis (6/8) malam, di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, Jabar.
Pria bernama lengkap Willy Sulaeman Rendra (Willibrodus Surendra) ini lahir di Solo, Jateng pada 7 November 1935. Beberapa bulan terakhir ini, rendra sering masuk rumah sakit akibat menderita gangguan jantung. Dia juga secara rutin menjalani cuci darah akibat gangguan kesehetan yang dideritanya.
No comments:
Post a Comment