Wednesday, June 20, 2018

Bagaimana Islam datang ke Alam Melayu?




Islam datang ke Alam Melayu atau Nusantara abad ke 16 dibawa oleh ulama, pendakwah  Islam dengan metode Islamisasi tanpa paksaan.  Mereka kemudian menyatu dengan pribumi. Pendekatan yang dikembangkan cenderung kepada ajaran-ajaran sufistik dan kultural. Ajaran-ajaran tauhid, akhlak, masuk melalui jalur metafisika tasawuf. Jalur ini terbukti efektif untuk penduduk kepulauan Nusantara.

Tradisi dan kebudayaan berbau mitologis peninggalan anismisme-dinanisme dan hindu-budha tergeser secara mendasar oleh intelektualisme tasawwuf. Ajaran-ajaran metafisika sufi seperti konsep-konsep Tuhan, wujud, eksistensi, waktu, agama, dan konsep manusia mengantar penduduk pribumi kepada pembaharuan pola pemikiran dan pandangan hidup.

Selain itu, kepercayaan animisme-dinamisme lokal yang menonjolkan mitos dan kecenderuman pada kesaktian. Maka, ketika para pendakwah Islam dan walisongo memiliki kelebihan di luar kebiasaan (khariq al-‘adah) semakin mudah diterima pribumi. Dari jalur ini kemudian mitologi hindu-budha di-islamkan.

Ada kecenderungan, para sufi yang berprofesi dagang bererak lebih aktif dan memiliki rencana matang untuk pergi negeri-negeri Timur. Kaum Sufi dari Timur Tengah pada abad ke-12 yang berlayar ke Timur dikenal memiliki kelebihan pengetahuan tentang agama, bahasa, adat-istiadat dan sistem politik negeri-negeri Timur meliputi India dan Asia Tenggara.

Jadi, mereka datang berbekalkan  pengetahuan yang matang tentang dunia Timur. Pengetahuan sosiolois dan antroplois dipelajari secara mendalam sebelum pergi ke Timur. Khususnya kemampuan berbahasa Melayu.

Ada kemungkinan, mereka terlebih dahulu melakukan kajian  secara serius. Terutama aspek bahasa yang mereka gunakan dalam pendekatan dakwah Islam. Bahasa Melayu saat itu merupakan bahasa yang belum tersentuh oleh pandangan hidup dan konsep-konsep hindu-budha. Bahasa ini dianggap murni. Serta, tidak banyak digunakan oleh penduduk Nusantara.

Berbekal pengetahuan tentang adat-istiadat dan bahasa Melayu, pendakwah Islam dengan mudah mendirikan lembaga-lembaga pembinaan. Dengan jalur metafisika sufi, adat-istiadat diislamkan. Bahasa Melayu pun identik dengan istilah-istilah Arab-Islam, sehingga akhirnya menjadi lingua franca di bumi Nusantara.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan:“Abad-abad ke-enam belas dan ke-tujuh belas suasana kesuburan dalam penulisan sastera falsafah, metafizika dan teologi rasional yang tiada terdapat tolak bandinganya di mana-mana dan di zaman apa pun di Asia Tenggara. Penterjemahan al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Melayu telah diselenggarakan beserta syarahannya yang berdasarkan al-Baydawi; dan terjemahan-terjemahan lain serta syarahan-syarahan dan karya-karya asli dalam bidang falsafah, tasawuf dan ilmu kalam semuanya telah diselenggarakan pada zaman ini juga”( Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal.45).
Sunan Bonang menulis kitab tasawwuf berjudul Suluk Wijil. Ia juga mendirikan semacam padepokan, yang kelak disebuk pesantren mendidik santri-santrinya dengan keterampilan hidup. Di situ, Sunan Bonang berhasil mengislamkan banyak bangsawan Hindu yang berasal dari Majapahit (Abdul Hadi WM,Islam, Cakrawal Estetik dan Budaya, hal. 291).

Para sufi,  penyebar agama Islam sangat aktif melakukan ‘training’ kepada pribumi. Melatih keterampilan pertanian, perdaganan dan sebagainya. Seorang pengembara dari Portugis bernama Tome Pires menceritakan pengalamannya pada saat berkunjung ke Jawa dan Sumatera pada abad ke-16, “Para kaum sufi itu sangat aktif menjalankan organisasi dagang dan mengajarkan ilmu pertukangan atau seni kerajinan kepada pengikut-pengikutnya. Kerana itu tidak menghairankan apabila pengaruh Islam begitu kuat pada perkembangan seni ukir, batik, kaligrafi, musik dan sastera di pesisir tanah Jawa.
HAMZAH FANSURI
Hamzah Fansuri, asal Aceh, seorang ahli tasawuf dan filsafat Islam disebut sebagai orang yang pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan secara rasional dan sitematis-filosofis. Ia pernah melakukan perjalanan intelektual dari Asia Tenggara, India hingga Timur Tengah. Hamzah Fansuri sendiri tarikat  tasawufnya mengikuti tarikat Qadiriyah, tarikat  yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Di Aceh juga terdapat ulama hebat, Nuruddin al-Raniri, ulama berasal dari Gujarat datang ke Aceh untuk melakukan islamisasi. Ia seorang sufi yang memiliki darah keturunan Ali bin Abi Thalib dari jalur Hasan. Dari segi ilmu tasawuf, al-Raniri memiliki dua jalur sanad tariqah. Pertama Sayyid Umar Al-Idrus, pemimpin tarikat  Ba’alawi di India pada zamannya. Kedua, dia memiliki sanad Tarikat Rifaiyyah dan Qodiriyyah. Dia juga pernah belajar di Hadramaut, pusat dan tempat lahir tariqah Ba’alawi. Tarikat inilah yang banyak mempengaruhi pemikiran Nuruddin al-Raniri.

Setelah masa kolonialisme, tarikat Ba’alawi berkembang pesat di Indonesia dan Malaysia. Tarikat  yang diantuk komunitas habaib/sayyid serta para pengikutnya ini membentuk komunitas-komunitas membaca zikir, kajian kitab dan lembaga-lembaga pendidikan suluk. Karakternya yang mengedepankan adab, dan tidak terlalu kaku dalam pengamalan tarikat (tanpa kewajiban baiat) menjadikan tarikat  ini berkembang pesat diikuti setiap lapisan masyarakat pedesaan dan perkotaan.
Ajaran dan amaliyahnya yang merupakan perpaduan antara tasawuf imam al-Ghazali dan tarikat  Syadziliyah dikemas dalam bentuk pengamalan yang mudah bagi kalangan umum umat Islam. Tarikat  ini menjauhi hal-hal rumit yang bisa membingungkan Muslim awam.

Dengan pendekatan ini, Islam lebih mudah dikenal dan disebarkan kepada penduduk pribumi Nusantara. Jalur metafisika sufi, terbukti lebih mudah ‘menembus’ benak penduduk Nusantara. Jadi, tasawwuf berhasil mengubah pandangan alam pribumi Nusantara. Dari mitologs diubah menjadi rasionalis. Dari animistis digeser menjadi Islamis.

2 comments: